1. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Prof. H. Mahmud Yunus, 1993. Jakarta)
2. Sejarah Pendidikan Islam (Dra. Zuhairini, d.k.k. Dept. Agama. Jakarta, 2010)
3. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Drs. Hasbullah, 1994. Jakarta)
4. Sejarah Pendidikan Islam ( Prof. Dr. H. Mahmud Yunus. 1979. Jakarta)
5. Pengantar Sejarah Islam di Indonesia (M. Sholihin Manan)
I.
Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia
1. Teori-teori masuknya Islam di Indonesia
Sebelumnya bangsa Arab
hanya dikenal sebagai pengembara gurun. Dari syair-syair mereka diketahui bahwa
bangsa Arab sebelum Islam menganggap laut identik dengan kematian. Pedagang
Arab hanya menjadi distributor antara Yaman dengan Syiria atau Persia dengan
Byzantium. Namun Islam menjadikan mereka berani mengarungi laut. Islam
mengajarkan pengikutnya untuk mengambil kebijaksanaan dengan menjelajahi hasil
ciptaan Allah swt di penjuru bumi. Berita tentang negeri India dan Cina yang
mereka dengar dari orang-orang Persia, membuat mereka berinisiatif untuk
mendatangi langsung negeri-negeri tersebut.
Selat Malaka adalah
jalur yang dilalui pedagang Muslim. Selain menjadi tempat transit, para
pedagang itu juga tertarik dengan komoditi Asia Tenggara, seperti kapur barus
dari Sumatera. Di wilayah tersebut mereka singgah dan menetap sementara untuk
menambah air, perbekalan serta bertemu pedagang-pedagang dari wilayah Nusantara
(sebutan untuk wilayah Indonesia di masa itu). Mereka pun terdorong untuk
menjelajahi wilayah strategis lain seperti Jawa dan Maluku. Kedatangan mereka
ke Nusantara telah mengenalkan masyarakat setempat mengenai Islam. Namun
terjadi perbedaan pendapat mengenai kapan masuknya Islam ke Indonesia.
a.) Teori Pertama: Sejak Abad ke-13 dari Gujarat
Teori ini diajukan oleh
Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang menyamar masuk Islam untuk
mempelajari Islam di Mekkah. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam masuk ke
Indonesia tidak langsung dari Arab, melainkan melalui para pedagang Gujarat,
India.
Snouck Hurgronje
melandaskan teorinya pada nisan yang ditemukan di Leran, Gresik. Nisan yang
bercungkup (pengaruh Hindu) tersebut
berangka tahun hijriah, yang jika dikonversi berarti tahun 1082 M. Nama
Fathimah binti Maimun di nisan menandakan bahwa pada tahun tersebut sudah ada
orang Islam menetap di Gresik.
Berita (laporan perjalanan) Marcopolo, seorang Eropa yang
berkelana sampai ke Cina. Pada 1292 M, ia singgah di Sumatera bagian utara dan
menemukan adanya kerajaan Islam di daerah tersebut yang bernama Samudera Pasai.
Nisan Malik as Shaleh,
raja pertama Samudera Pasai. Nisan tersebut berangka tahun hijriah, yang jika
dikonversi berarti tahun 1297 M. Nisan tersebut memiliki kesamaan bentuk dengan
nisan-nisan di daerah Gujarat, India.
Berita Ibnu Battutah,
seorang penjelajah dari Maroko. Penjelajahannya meliputi benua Afrika, Asia,
dan Eropa. Salah satu daerah yang disinggahinya adalah pulau Sumatera pada 1345
M, ia menjumpai banyak orang Islam di pulau Sumatera.
Catatan Ma Huan, seorang
penulis yang mengikuti penjelajahan laksamana Cheng Ho di abad ke-15. Dalam
tulisannya disebutkan bahwa telah ada komunitas-komunitas muslim di pantai
utara pulau Jawa.
b.) Teori Kedua: Sejak Abad ke-7 dari Arab
Oleh Van Leur, T.W.
Arnold, Groeneveldt, dan Hamka. Mereka mengatakan Islam masuk ke Indonesia
sejak abad ke-7 langsung dari Jazirah Arab di bawa para pedagang Arab.
Dalam kitab sejarah
Cina, Chiu T’hang Shu, disebutkan adanya kunjungan diplomatik dari Ta Shih,
sebutan untuk Arab, pada 651 M. Duta tersebut datang lagi 4 tahun kemudian dan
menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah 3 kali
berganti pemimpin. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa Utsman bin
Affan. Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina
saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh, termasuk Nusantara. Ini
adalah rute pelayaran terpanjang yang pernah ada sebelum abad ke-16.
Berita Cina di masa
Dinasti Tang menceritakan tentang Khalifah Muawiyah yang tidak jadi menyerang
Jawa karena memiliki pemimpin yang adil. Pada 674 sampai 675 M, duta dari Arab
untuk Cina, diam-diam pergi menyelidiki pulau Jawa dengan menyamar sebagai
pedagang. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga di Jawa Timur yang
dipimpin Ratu Simo. Untuk mengujinya maka pedagang Arab tersebut meletakkan
pundi-pundi emas di jalan dan tidak diambil selama 3 tahun. Ketika putra
mahkota menyentuhnya maka Ratu Simo pun memberikan hukuman.
Berita Cina 758 M
tentang serangan pemberontak Cina terhadap komunitas pedagang Arab di Kanton.
Dalam kerusuhan tersebut para pedagang Arab sempat membakar Kanton. Hal ini
menunjukkan jumlah orang Arab yang ada di Kanton sangatlah banyak.
Berita Cina tentang berdirinya perkampungan
Arab (Pekojan) di pesisir pantai Sumatera pada seperempat abad ke-7.
Di perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan
penduduk lokal. Hal ini juga ditemukan dari catatan peziarah Budha Cina yang
kerap kali menumpang kapal-kapal orang Arab sejak abad ke-7 untuk pergi ke
India.
Sumber dari Arab bahwa
kafilah dagang Arab yang hendak ke Kanton (Cina) harus singgah dulu di Lamuri
(Aceh). Sumber tersebut juga menyebutkan bahwa pedagang mereka sering
mengunjungi Zabag atau Sribuza (Kerajaan Sriwijaya). Hal ini dikarenakan zaman
itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang
akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya. Pada 717
ekspedisi 35 kapal dagang kekhalifahan Umayyah yang dipimpin Zahid menuju Cina,
singgah dulu di Sumatera Utara, Sriwijaya, Brunei, Siam, dan Kamboja.
Kawasan perdagangan bangsa Arab pada abad ke-7 – 13 M.
Saat itu bangsa Arab telah berlayar dari pantai Barat Afrika sampai kepulauan
Maluku.
c.) Teori Gabungan
Islam datang ke
Indonesia sejak abad ke-7 dibawa pedagang Arab bersama pedagang Gujarat dan
Persia. Namun Islam berkembang secara aktif sejak abad ke-13 ketika da’wah
Islam dilakukan oleh penguasa lokal.
Menurut teori ini, pada abad ke-7 – 9 M, para pedagang
Arab sudah singgah di wilayah Nusantara. Jumlah pedagang muslim yang melintasi
Nusantara semakin banyak ketika pedagang Persia dan Gujarat ikut memeluk Islam
dan kemudian meramaikan jalur selat Malaka. Pada abad ke-10 – 12, terbentuklah
kampung-kampung muslim yang permanen di wilayah pesisir, yang dihuni orang
asing (Arab, Gujarat, Persia, dan Cina) serta pribumi yang telah memeluk Islam.
Kampung-kampung muslim tersebut berubah menjadi kota dagang karena berada di
jalur perdagangan yang sibuk. Abad ke-13 – 16, sebagian dari kota-kota dagang
tersebut berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan Islam, diantaranya adalah Samudera
Pasai.
Hancurnya Baghdad dan kekalahan Mongol oleh Dinasti
Mameluk, pada abad ke-13, menyebabkan pusat aktivitas Islam pindah ke pusat
kekuasaan dinasti Mameluk di Mesir. Laut Merah menjadi lebih hidup dan mubaligh
Mekkah – Madinah menjadi lebih terlibat dalam proses da’wah. Hal ini berdampak
pada da’wah di Nusantara yang semakin hidup, sehingga pada abad tersebut
mulailah berdiri kerajaan-kerajaan Islam pertama di Sumatera bagian utara.
Salah satu pengaruh dari dinasti Mameluk adalah sultan-sultan Samudera Pasai
memakai gelar sultan-sultan Mameluk. Seperti Al Malikus Shaleh, sultan pertama
Samudera Pasai, yang mengambil gelar dari Al Malikus Shaleh Ayyub. Al Malikuz
Zahir, sultan kedua Samudera Pasai, mengambil gelar dari Al Malikuz Zahir
Baibars. Al Malikul Manshur mengambil gelar dari Al Malikul Mansur Qalawun.
Selain tiga teori besar di atas, ada pula Teori Persia
dan Teori Cina.
Teori Persia. Teori ini dikemukakan
oleh Prof Dr. P.A. Husen Jayadiningrat berdasarkan adanya tradisi Syi’ah,
aliran yang banyak dianut masyarakat Persia, di beberapa wilayah di Nusantara. Misalnya
peringatan Tabut/Tabuik
yang merupakan peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad, di
Sumatera Barat dan Bengkulu.
Teori Cina. Teori ini dikemukakan
Prof Dr. Slamet Mulyana dikarenakan utusan resmi Kekhalifahan Islam terlebih
dulu mengenalkan Islam ke Cina. Sehingga masyarakat Cina-lah yang lebih dahulu
masuk Islam. Baru kemudian melalui perdagangan yang sudah terjalin sejak masa
Hindu – Budha antara Cina dan Nusantara, Islam dikenalkan pedagang Cina ke
Nusantara. Komunitas-komunitas Cina Muslim yang ada di Indonesia hari ini pun
umumnya berasal dari daerah pesisir, sehingga diperkirakan komunitas Cina
Muslim lebih dulu ada daripada komunitas Arab Muslim di Indonesia. Salah satu
tokoh Cina Muslim yang terkenal adalah laksamana Cheng Ho pada abad ke-15.
2. Penyebaran Islam di Indonesia
Islam di Indonesia
awalnya berkembang di daerah pesisir. Hal ini dikarenakan para pedaganglah yang
pertama kali mengenalkan Islam. Rakyat pesisir sendiri umumnya lebih terbuka
karena sering berinteraksi dengan kebudayaan luar. Setelah menyentuh masyarakat
lapis bawah di pesisir, Islam kemudian dikembangkan ke pedalaman, terutama
ditujukan pada kalangan bangsawan. Rakyat pedalaman memiliki tingkat kepatuhan
yang tinggi pada pemimpinnya, ketika pemimpinnya masuk Islam maka rakyatnya pun
masuk Islam.
a.) Jalur Kedatangan Islam ke Indonesia
terdapat 2 jalur
kedatangan Islam ke Indonesia, yaitu:
- Arab – Persia – Gujarat – Pantai utara Sumatera
- Arab – Hadramaut di Yaman – Gujarat – Pantai utara Sumatera
Dari pantai utara
Sumatera, Islam disebarkan ke wilayah-wilayah Nusantara lainnya melalui:
- Perlak dan Samudera Pasai – Jawa, wilayah pertama di Leran, Gresik
- Perlak dan Samudera Pasai – Kalimantan, wilayah pertama di Brunei
Dari Jawa, Islam disebarkan ke Banjarmasin dan Palembang
(jalur kota-kota/kerajaan di Jawa Tengah); melalui jalur kota-kota di
Jawa Timur, Islam disebarkan ke Nusa Tenggara (Lombok, Sumbawa, Bima) dan
Maluku (yang melanjutkan ke Sulawesi dan Buton); Lampung dan Palembang (jalur
kerajaan di Jawa
Barat).
Wilayah Sumatera (Perlak
dan Samudera Pasai) juga terus melanjutkan penyebaran Islam ke Sulawesi
Selatan.
Sedangkan Aceh dan
Sumatera Barat melanjutkan ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara, dan Buton.
Islam di Indonesia
awalnya terdiri dari mazhab Syafe’i, Hanafi, dan aliran Syi’ah. Namun hari ini
Islam di Indonesia didominasi mazhab Syafe’i. Mazhab-mazhab dalam Islam yang
dikelompokkan pada Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah: Hanafi, Maliki, Syafe’i, dan
Hambali. Pengelompokkan ini didasarkan pada perbedaan mereka yang hanya pada
tataran Furu (cabang) bukan pada Ushul (prinsip dasar). Gerakan revivalis yang
masuk ke Indonesia sejak abad ke-19, seperti Wahabi yang dipimpin Imam Bonjol,
mulai menyerukan penghapusan mazhab dengan cara merangkum pendapat terkuat dari
keempat mazhab yang ada.
b.) Saluran Penyebaran Islam di Indonesia
Saluran atau cara
penyebaran Islam di Indonesia terdiri dari:
Perdagangan. Pedagang muslim sering
menetap ketika singgah di kepulauan Nusantara. Mereka melakukan interaksi
dengan penduduk setempat. Penduduk setempat tertarik dengan tingkah laku
pedagang Islam yang baik dan berpengetahuan tinggi, sehingga mereka pun memeluk
Islam.
Pernikahan. Para pedagang yang
menetap juga melakukan pernikahan dengan penduduk setempat. Pedagang muslim
saat itu dipandang memiliki status ekonomi dan intelektual yang tinggi,
sehingga para bangsawan tak jarang menikahkan putrinya dengan pedagang muslim.
Seperti Putri Tuban (Nyai Manila) dengan Sunan Ampel, atau Putri Kawungaten
dengan Sunan Gunung Jati.
Penguasa. Pedagang membawa nilai
ekonomi tinggi bagi daerah yang didatanginya. Sehingga raja dan bangsawan di
Nusantara pun menjalin hubungan dengan para pedagang muslim. Ketika seorang
penguasa memeluk Islam, maka rakyatnya akan mengikuti. Hal ini terjadi antara
lain di Gowa dan beberapa wilayah Maluku. Pada masa selanjutnya, da’wah oleh
penguasa juga melalui politik ekspansi, seperti yang dilakukan oleh Kerajaan
Demak dan Aceh.
Mubaligh. Mubaligh/penyiar Islam di
masa itu tidak menjadikan profesi mubalighnya sebagai sumber penghasilan.
Mereka umumnya berdagang karena dahulu Nabi Muhammad pun hidup dari berdagang.
Di sela-sela waktu dagangnya mereka melakukan da’wah kepada masyarakat.
Penyiar Islam yang
terkenal di pulau Jawa adalah Wali Sanga. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim
(Sunan Gresik), Sunan Ampel (berasal dari Campa), Sunan Giri, Sunan Bonang,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, dan Sunan Drajad.
Di Sulawesi, salah satu
penyiar Islam yang terkenal adalah Dato Ri Bandang dari Sumatera. Sedangkan di
Kalimantan adalah Dato Di Tiro, Syekh Yusuf, Ki Gede Ing Suro dari Jawa, dan
Tuan Tanggang Parangan dari Sulawesi.
Pendidikan. Di masa itu para mubaligh
tidak mendirikan lembaga pendidikan Islam atau Madrasah. Mereka hanya
mengalihfungsikan lembaga pendidikan Hindu – Budha, yaitu Pesantren. Seperti
Sunan Ampel dengan Pesantren Ampel Denta-nya di daerah Surabaya, Pesantren
Sunan Giri bahkan merekrut murid-murid dari Maluku.
Kesenian. Awalnya terjadi perbedaan
pendapat di kalangan Wali Sanga soal memanfaatkan kesenian tradisional untuk
berda’wah. Namun akhirnya dibolehkan selama tidak mengandung unsur Syirik (menyekutukan
Allah swt). Diantara Wali yang menjadikan seni sebagai sarana adalah Sunan
Kalijaga yang menggunakan wayang, Sunan Kudus yang menciptakan gending Mas
Kumambang, Sunan Giri melalui lagu Ilir-ilir serta permainan anak-anak Petak
Umpet dan Cublak-cublak Suweng. Hal yang sama juga ditemukan di luar Jawa,
seperti pada Tari Saman di Aceh.
Pembebasan budak. Pembebasan budak adalah
cara da’wah yang dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad. Para pedagang muslim
membeli budak dari penguasa setempat dan kemudian memerdekakan mereka, sehingga
para budak tersebut memeluk Islam. Perbudakan di Indonesia kembali muncul
ketika datang masa penjajahan bangsa Eropa.
Tassawuf. Di masa Nabi Muhammad,
Ahlu Suffah adalah sebutan bagi orang miskin yang tinggal di Masjid Nabawi, Madinah.
Mereka hidup sederhana dan banyak beribadah mendekatkan diri pada Allah swt. Di
wilayah kebudayaan Yunani, Persia, dan India, pemikiran hidup sederhana namun
dekat dengan Tuhan, sudah lama ada. Di Yunani, orang-orang tersebut biasanya
adalah ahli Sofia (ilmu atau kebijaksanaan) yang berpikiran bebas dan menganut
mazhab ascetisme. Di Persia dan India, orang-orang tersebut menyiksa diri
sebagai penyucian dosa. Jika sudah mencapai tingkatan tinggi, mereka menganggap
sudah menyatu dengan Tuhan (Pantheisme). Ketika Islam menyebar ke berbagai
wilayah, cara-cara hidup tersebut berbaur dan melahirkan Tassawuf, sedangkan
pelakunya disebut Sufi. Mereka hidup menjauhi dunia dan menghindari konflik
dengan bersikap netral dan tidak memilih siapa yang salah atau benar. Hidup
sederhana dan biasanya dekat dengan hal-hal mistis, membuat masyarakat tertarik
dengan para Sufi. Hal ini juga didukung oleh pola pikir Sufi yang dekat dengan
alam pikir pra-Islam (abangan). Contoh penyebar Tassawuf di Indonesia adalah
Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar.
c.) Faktor-faktor yang mendukung diterimanya Islam
Islam diterima
masyarakat Indonesia dikarenakan:
- Islam masuk ke Indonesia secara damai dan perlahan-lahan (Penetration Pacifique). Islam datang pada abad ke-7 dan baru pada abad ke-13 memegang kekuasaan/kerajaan
- Siapapun dapat mempelajari kitab suci, sehingga pedagang pun memiliki kewajiban berda’wah
- Ajaran Islam tidak mengenal kasta
- Upacara dan ibadah dalam Islam sederhana dan tidak memaksa
- Adanya mekanisme pemerataan ekonomi melalui zakat
- Metode da’wah yang inklusif, melalui seni, pernikahan, dan berkerjasama dengan para penguasa
- 7. Kondisi kerajaan-kerajaan Hindu (Majapahit) yang sedang goyah
- 8. Kedatangan orang Portugis.
Portugis dan Spanyol
menjelajahi dunia dengan semangat Reconquesta, sehingga mereka sering memakai
pendekatan kekerasan dan memaksakan monopoli dagang. Penduduk yang tidak suka
kemudian mendekati kaum muslim yang merupakan musuh Portugis dan Spanyol.
3. Pengaruh Islam terhadap Masyarakat Indonesia
Hadirnya Islam telah
membawa pengaruh bagi daerah-daerah yang dilaluinya. Secara politik, Islam
memberikan kekuasaan bagi penganutnya, seperti yang terlihat pada kerajaan
Demak yang nyaris menguasai seluruh pantai utara Jawa. Secara ekonomi,
kehadiran Islam telah memunculkan berbagai kota dagang baru dan mengikis kasta
yang ada di masyarakat. Secara intelektual, selain menjaga warisan ilmu dari
peradaban-peradaban sebelumnya, dunia Islam pun menghasikan berbagai penemuan
teknologi dan membangun karya seni indah di berbagai wilayah.
Di Indonesia sendiri,
pengaruh Islam dapat dilihat dari tumbuhnya jaringan ekonomi dan intelektual,
serta perpaduan budaya tradisional dengan budaya-budaya luar Indonesia.
a.) Tumbuhnya Jaringan Ekonomi di Kepulauan Nusantara
Di masa
kerajaan-kerajaan Hindu, kekuasaan pemerintah cenderung sentralistik. Sehingga
hanya daerah pusat atau ibu kota, yang umumnya di pedalaman, yang mengalami
kemajuan. Ketika Islam datang ke Nusantara, tumbuhlah pusat-pusat aktivitas
ekonomi baru yang tersebar dan memiliki otonomi luas. Tumbuhnya jaringan
ekonomi, berupa kota-kota dagang, di Nusantara memang sangat terkait dengan
faktor geografis. Namun faktor geografis semata tidak akan menghasilkan
loncatan peradaban tanpa adanya stimulus dari datangnya para pedagang muslim.
Para pedagang
membutuhkan jaminan kemanan untuk melancarkan usahanya. Kondisi
kerajaan-kerajaan Hindu yang melemah menjadikan para pedagang muslim memberikan
dukungan kepada kepala-kepala daerah yang disinggahi agar dapat mengamankan rute
dagang mereka. Penguasa lokal yang berada di pesisir, juga sedang berusaha
melepaskan diri dari kekuasaan pusat di pedalaman. Sehingga mereka pun
menyambut persekutuan dengan para pedagang muslim. Keuntungan ekonomi dari
datangnya para pedagang membuat penguasa pesisir semakin kuat sehingga mampu
membentuk kota dagang yang otonom. Bahkan ketika akhirnya Samudera Pasai
mengalami kemunduran setelah diserang Majapahit pada abad ke-14, hal tersebut
turut memicu kelahiran kota dagang yang lain. Para pedagang muslim yang lari
dari Samudera Pasai kemudian mengambil rute baru melalui tepian Semenanjung
Malaya sehingga muncullah kota dagang Malaka.
Kota-kota dagang yang
lahir akibat kedatangan Islam diantaranya adalah Pedir, Pariaman, Barus, Pasai,
Malaka, Gresik, Tuban, Jepara, Cirebon, Banten, Pasuruan, Palembang, Banjar,
Brunei, Sabah, Makasar, Ternate, Tidore, dan Hitu.
Maraknya kelahiran
berbagai kota dagang, juga didasari kesamaan pemikiran antara pedagang muslim
dengan pedagang Nusantara mengenai konsep Perdagangan Bebas. Hal ini terlihat
ketika Malaka jatuh ke Portugis pada 1511. Untuk menghindari monopoli yang
dijalankan Portugis, pedagang muslim mencari jalan lain dengan melewati pesisir
barat Sumatera dan melewati selat Sunda. Jalur baru ini menjadi ramai, Banten
yang berada di tepi selat Sunda tumbuh menjadi kekuatan baru kota dagang
Nusantara.
Kota dagang satu dengan
yang lain memiliki hubungan erat. Persaingan yang terjadi antar sesama kota
dagang, terdapat di tataran penguasa yang menginginkan kota-kota dagang dalam
suatu wilayah berada di bawah satu komando sehingga dapat lebih mudah dikelola.
Hal ini terjadi seperti pada politik ekspansi Demak yang hendak menguasai
seluruh pantai utara Jawa karena kota-kota di sana sama-sama menghasilkan
beras. Sementara para pedagang tidak terlalu peduli pada siapa penguasanya,
yang mereka inginkan hanya keamanan dan kelengkapan pelabuhan dagang.
Eratnya hubungan antar kota-kota dagang juga disebabkan
kebutuhan mereka terhadap komoditi dagang masing-masing kota. Seperti kota-kota
dagang di pulau Jawa yang menghasilkan beras, namun tetap membutuhkan
rempah-rempah dari kota-kota dagang di Maluku. Kerjasama antara sesama kota
dagang juga terlihat dalam menghadapi penjajahan Barat. Saat Portugis menduduki
Malaka, maka Demak dan Aceh saling bergantian menyerang benteng Portugis di
Malaka. Hal ini dikarenakan Portugis dengan prinsip ekonomi monopolinya
merupakan ancaman terhadap jaringan ekonomi perdagangan bebas di Nusantara.
Kota-kota dagang yang
semula hanya kampung persinggahan untuk mengisi air, sebagian diantaranya
berhasil mendirikan kerajaan berkebudayaan maritim. Saat itu merupakan salah
satu masa keemasan Nusantara. Meskipun Nusantara tidak dalam satu kekuasaan
seperti pada masa Majapahit. Namun keberadaan berbagai kota dagang telah
menimbulkan pemerataan kesejahteraan ekonomi tidak saja di pusat-pusat
kekuasaan. Ketika akhirnya penjajahan Barat hadir, Nusantara tidak pernah lagi
menjadi negara berbasiskan perdagangan dan maritim. Kerajaan-kerajaan yang ada
di masa penjajahan Barat umumnya bercorak agraris dan tertutup dari
perkembangan dunia luar.
b.) Terbentuknya Jaringan Intelektual dari Nusantara sampai Timur
Tengah
Kota-kota dagang yang tumbuh di Nusantara memiliki
tingkat kemajuan tinggi dikarenakan perputaran uang di tempat tersebut. Selain
itu, kota-kota tersebut juga menjadi pusat penyebaran Islam di Nusantara.
Pedagang muslim yang berdatangan dari berbagai wilayah saling berbagi informasi
mengenai perkembangan setiap wilayah yang mereka lalui. Hal ini meningkatkan
intelektualitas penduduk setempat. Selain karena dalam Islam semua orang
diperbolehkan dan bahkan diwajibkan mendalami ilmu, juga karena informasi dan
teknologi dari wilayah-wilayah di luar Nusantara dapat mereka ketahui. Diantara
penyebab diterimanya Wali Sanga oleh masyarakat Jawa adalah karena Wali
Sanga mengenalkan cara hidup sehat dan bercocok tanam yang lebih baik.
Jaringan intelektual
tersebut terbentuk tidak saja antar kepulauan Nusantara, namun juga sampai ke
pusat-pusat aktivitas Islam di Timur Tengah. Jaringan tersebut berbasiskan
ulama, ibadah haji, dan pesantren. Jaringan ulama ini dapat dilihat dari
keberadaan Wali Sanga yang sebagian besar lahir di luar Nusantara. Ada yang
berasal dari Hadramaut, Gujarat, dan Campa. Ulama Aceh, Nuruddin ar Raniri,
lahir di Gujarat dengan ibu Melayu dan bapak Hadramaut. Ulama Makasar, Muhammad
Yusuf al Maqassari, berda’wah dari Sulawesi ke Banten, Arab, Srilanka, dan
sampai Afrika Selatan.
Ulama di masa itu memiliki peran penting dalam
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Syaikh Ismail adalah ulama yang khusus
dikirim Dinasti Mameluk untuk menobatkan Merah Silu sebagai sultan
pertama Samudera Pasai. Saat kerajaan Islam Demak berdiri di pulau
Jawa, Wali Sanga diangkat menjadi Majelis Syuro bagi sultan. Fatwa
kepala Qadhi Mekkah menyebabkan Sultanah Kamalat Syah turun tahta kerajaan Aceh
menjelang akhir abad ke-17. Hal ini berawal saat kerajaan Aceh yang dipimpin
Sultanah (sultan perempuan) mengalami kemunduran dengan lepasnya
wilayah-wilayah di Semenanjung Malaya dan Pulau Sumatera sehingga ulama-ulama
Aceh lalu meminta fatwa mengenai status kepala negara perempuan pada kepala
Qadhi Mekkah.
Tidak saja para ulama asing yang datang ke Nusantara
dan mengkader ulama-ulama pribumi, tapi orang-orang Nusantara banyak pula
yang mendalami Islam langsung ke sumbernya, di Mekkah dan Madinah, melalui
ibadah haji. Pada abad ke-17 muncul komunitas-komunitas Ashabul Jawiyin
(saudara kita orang Jawa) di Mekkah dan Madinah. Saat itu orang Arab menyebut
Jawi terhadap semua orang yang datang dari kepulauan Nusantara.
Pesantren-pesantren Islam Nusantara menjadi tempat pengkaderan dan pewarisan
ilmu yang telah diperoleh di Mekkah dan Madinah.
Hubungan di kalangan ulama tersebut dapat berjalan baik
dikarenakan pemerintah masing-masing memberikan dukungan yang besar. Dinasti
Mameluk mensuplai gandum dan bahan makanan untuk Mekkah dan Madinah sehingga
jamaah haji dari berbagai wilayah dapat hidup terjamin. Dinasti Mameluk juga
membangun Jeddah sebagai pelabuhan utama Laut Merah sehingga jamaah haji
mendapat jalur darat yang lebih dekat daripada saat mereka berlabuh di Teluk
Persia. Kekhalifahan Utsmani meneruskan tradisi Mameluk dengan mengamankan rute
haji dan memberi subsidi rutin untuk pegawai rendah, ulama, serta penduduk
Mekkah dan Madinah. Kekhalifahan Utsmani mengusir Portugis dari perairan yang
akan dilalui muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji. Angkatan perang
Utsmani juga membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak
tahun 1521.
c.) Perpaduan Budaya
Masuknya Islam ke
Nusantara turut membawa berbagai budaya, baik dari budaya Arab maupun budaya
daerah-daerah yang Islam lalui sebelum ke Nusantara. Budaya yang menyertai
masuknya Islam ke Nusantara kemudian berbaur dengan budaya asli daerah-daerah di
Nusantara. Perpaduan budaya atau akulturasi tersebut terdapat dalam berbagai
hal.
Contoh perpaduan budaya
tersebut bisa dilihat dari penggunaan bedug dan kentongan di Masjid, lahirnya
aksara Arab – Melayu dan aksara Arab – Jawa, motif stilir atau penyamaran hewan
dan manusia dalam seni rupa. Tarikh Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung
adalah penggabungan Tarikh Hindu yang berdasarkan hitungan 5 hari dan Tarikh
Islam yang berdasarkan hitungan 7 hari.
Perpaduan budaya lainnya
dapat dilihat dari arsitektur dan kesusasteraan. Arsitektur Islam Nusantara
secara umum tidak menciptakan konsep baru melainkan melanjutkan karakterisitk
lokal yang sudah ada. Arsitektur Islam Nusantara dapat dilihat dari makam,
masjid dan menaranya, serta keraton.
Ragam arsitektur makam:
- Makam berciri bangunan Megalitik: makam di Troloyo yang berbentuk punden berundak
- Makam bercungkup (pengaruh Hindu): makam Fathimah binti Maimun di Leran, Gresik serta makam Raja Gowa di Sulawesi Selatan
- Makam dengan pengaruh budaya luar: makam Sultan Malik As Shaleh yang bergaya Gujarat serta makam Malik Ibrahim di Gresik yang bergaya Persia
Ragam arsitektur masjid:
- Masjid beratap tumpang (asli Indonesia), seperti Masjid Tua Ternate
- Masjid beratap kubah (dari luar Indonesia)
- Masjid beratap campuran
Ragam arsitektur menara
masjid:
- Menara masjid bergaya pura Hindu: menara Masjid Kudus
- Menara masjid bergaya mercusuar Belanda: menara Masjid Agung Banten
- Menara masjid dengan pengaruh Portugis: menara Masjid Kasunyatan, Cirebon
- Menara masjid dengan gaya Hadramaut: menara Masjid Pekojan, Jakarta dan menara Masjid Ampel
- Menara masjid dengan gaya India: menara Masjid Mangkunegara, Solo
Ragam arsitektur
Keraton:
- Keraton dengan arsitektur tradisional: Keraton Solo, Yogyakarta, Cirebon, Banten
- Keraton dengan arsitektur pengaruh Belanda: Istana Bima, dapat dilihat dari tiang-tiangnya
- Keraton dengan arsitektur pengaruh India: Istana Maemun Medan, menggunakan lengkung ladam kuda
Kesusasteraan Islam
umumnya berupa kitab-kitab
yang berisi ajaran moral dan tuntunan hidup sesuai Syariah. Contohnya kitab
Tajus Salatin dan Bustan us Salatin yang ditulis Nuruddin ar Raniri dari Aceh.
Selain kitab-kitab yang berisi
ajaran moral dan tuntunan hidup, terdapat pula bentuk sastra lainnya, seperti:
- Suluk. Berisi cerita Tassawuf, sering mengandung unsur Pantheistis (manusia bersatu dengan Tuhan). Contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, Syair Perahu dan Sya’ir Si Burung Pinggai karya Hamzah Fansuri
- Primbon. Sinkretisme dengan kepercayaan Hindu dan praHindu, berisi ramalan-ramalan, perhitungan hari baik dan buruk, pemberian makna pada kejadian
- Hikayat. Cerita dongeng yang berpangkal pada tokoh sejarah dan peristiwa yang sungguh terjadi, bagian terpenting umumnya berisi keajaiban dan peristiwa yang tidak masuk akal. Contohnya cerita Panji (tokoh dari akhir zaman Majapahit), hikayat Hang Tuah
- Babad. Cerita sejarah yang biasanya berupa narasi bersya’ir. Contohnya Babad Tanah Jawi, Babad Giyanti
Selain perpaduan budaya, masuknya Islam ke Nusantara juga
menghasilkan sinkretisme dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Contoh sinkretisme antara Islam dan Hindu di
Indonesia adalah Islam Kebatinan di Jawa serta Islam Watu Telu di Lombok. Penyebab
sinkretisme adalah:
- Da’wah yang belum tuntas
- Kurangnya hubungan dengan pusat keilmuan Islam
- Kuatnya unsur budaya Hindu – Budha
- Islam yang masuk ke Indonesia telah dipengaruhi oleh budaya negeri-negeri yang disinggahi, seperti India dan Persia
Kedatangan Islam telah melahirkan berbagai kota
dagang, sehingga terbentuklah jaringan ekonomi di kepulauan Nusantara. Selain
itu, hubungan ulama Indonesia dengan ulama-ulama Timur Tengah telah membentuk
pula jaringan intelektual berskala internasional. Jaringan tersebut berbasiskan
ulama, ibadah haji, dan pesantren. Kedatangan Islam turut menambah paduan seni dan budaya Indonesia,
antara lain pada arsitektur dan kesusasteraan. Arsitektur Islam Nusantara
secara umum tidak menciptakan konsep baru melainkan melanjutkan karakterisitk
lokal yang sudah ada. Kesusasteraan Islam umumnya berupa kitab-kitab yang
berisi ajaran moral dan tuntunan hidup sesuai dengan Syariah.
Saat itu merupakan salah
satu masa keemasan Nusantara. Meskipun Nusantara tidak dalam satu kekuasaan seperti
pada masa Majapahit. Namun keberadaan berbagai kota dagang telah menimbulkan
pemerataan kesejahteraan ekonomi tidak saja di pusat-pusat kekuasaan. Ketika
akhirnya penjajahan Barat hadir, Nusantara tidak pernah lagi menjadi negara
berbasiskan perdagangan dan maritim. Kerajaan-kerajaan yang ada di masa
penjajahan Barat umumnya bercorak agraris dan tertutup dari perkembangan dunia
luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar